Tiga Lubuk Hati
Untuk Ibu
Yogyakarta...Yogyakarta...Yogyakarta... bibirku
terucap, wajah tengadah ke arah langit lepas yang merona, ku rentangkan kedua
tanganku, sembari angin menghempas tubuh dan pejaman mataku, tapi
sayang...angin tak sanggup membawa tubuhku melayang di udara, namun hadirku di
tengah padang rumput, membuat lintasan fatamorgana kota impianku semakin indah
ku hayati.
Banyak orang yang fanatik dan bertanya-tanya “Mengapa
diriku sangat tergila-gila dengan kota Yogyakarta, pertanyaan itu tentu sangat
gampang aku jawab...menurutku Yogakarta itu adalah kota pendidikan yang paling
kental dengan budaya, memang semua kota memiliki budaya, tapi Yogyakarta lah
yang paling kental, aku dengar sekarang di sana sudah diwajibkan memakai batik,
uh..hal itu membuatku semakin terpesona, ramah tamah penduduknya seakan-akan
menggodaku untuk segera berdiri di tengah tegapnya Borobudur dan di sela-sela
keramaian Mallioboro, dan yang paling menggiurkan adalah PTN yang ku dambakan
sejak aku duduk dibangku kelas V SD, Universitas Gadjah Mada...Ya, aku Arumi
Chandrika, Iyum...Ibu selalu memanggilku seperti itu, maklum ibuku seorang
psikiater, mungkin begitulah caranya menyebut namaku penuh kasih sayang,
sekarang aku duduk di bangku kelas III SMAN 1 Bogor, aku sudah berhasil di hipnotis
oleh PTN tersebut, hingga di benakku tak ada lagi PTN, PTS maupun PTK lainnya
selain UGM, mungkin terlalu muluk-muluk anganku yang satu ini, karena UGM
merupakan universitas favorit di Indonesia tak lupa jurusan yang juga tak kalah
muluk-muluknya ku dambakan, Pendidikan Dokter, sampaikan bibir ini bergetar
menyebutnya, tapi apa salahnya mencoba, toh asalkan kita berusaha, Tuhan pasti
akan mendengar do’aku.
Begitu indah angan itu ku lantunkan dengan harapan
kemenangan kelak, dengan bangga angan itu ku raih dengan cucuran keringat,
sungguh nikmat hasil gemerlap di pandang kedua bola mataku sendiri, hawa sejuk
menyelimutiku jika semua orang yang ku kasihi meneteskan air mata terharu. Semua
rasa itu akan ku nikmati setelah denting waktu mengizinkanku, setelah takdir
kuasa menyapaku, hanya sujud kerendahan hati, kalam-kalam suci dan usaha halal ku
sertakan dalam diri.
XXX
Namun...ketika jarum jam berhenti disela angka 8 dan 9
malam, suasana yang dingin , tak ada kejora maupun bulan yang menerangi, hanya
lampu neon disudut sana yang memancarkan cahayanya walau sedikit, mata ini sayu
melihat semua disekitarku gelap, jemariku bergetar mengarah pada cahaya neon
itu, namun jemariku kembali menapak...lalu gelap...
Tuhan...
Jika kilau tunas
cempaka mengemban harapku
Mengapa kilau
itu bukan tergadai lagi, tapi terjual ?
Jika
benderangnya terlukis bersama ikrarku
Mengapa ikrarku
menjadi sunyi senyap ?
Aku tak tahu
Tuhan...Kau berikan hempasan kala ini padaku...
Hingga kiprah
suciku terbang bersama angin malam
Bintang dalam
hatiku tak lagi mengarak, terhenyak lamunan
Kini cawan emas
dalam jiwaku terkubur
Pilar-pilar
mutiara dalam darah membanjiri anganku
Yang ku tahu
saat ini jiwaku tak lagi seperti dulu...
Hanya
lubuk-lubuh hatiku yang dapat berbicara...
XXX
Aku terbangun
dalam gelapku...namun bibir ini tak sanggup terbuka, mata ini hanya memandang
satu arah, jiwa ini tertekan seakan tertimpa batu besar...meskipun jiwaku tak
lagi seperti dulu...namun sekali lagi...lubuk-lubuk hatiku dapat berbicara...
Lubuk hati
pertama berbicara namun jiwaku tetap terpaku...
Aku tak tahu,
seperti apa dunia memandangku sekarang apakah seperti siluet yang hanya datang
sekejap lalu hilang ?, apakah seperti karang laut yang tak menorah sedikitpun
diterpa ombak besar ?, atau bahkan seperti gelas kaca yang terjatuh lalu pecah
?...pertanyaan-pertanyaan itu hanya terlontar dalam lubuk hati pertamaku, bukan
dari bibirku..seperti itulah aku sekarang, ingin aku berlari dan menjerit di
puncak yang sangat tinggi dan sepi hingga aku terbebas ingin seberapa keras aku
menjerit dan seberapa banyak air mataku menetes dari mata ini yang tak bisa
lagi melihat khayalan indah disana yang masih terselubung sutra bunga dan harus
aku dapati. Aku takut ibu tak sanggup lagi melihat keadaanku sekarang ini,
putri yang dia banggakan kini menjadi tak berdaya, terkapar di lantai dengan
air mata tak berhenti menetes dan tak sedikitpun terucap dalam bibir ini alasan
mengapa aku seperti ini, hingga ibu diam dalam kebingungan dan kepedihan, namun
lubuk hati ini ingin sekali merangkul ibu, berbicara pada ibu mengapa aku
begini, bersujud pada ibu sebagai tanda maafku...tapi...fisiku tak bisa
melakukannya karena jiwaku masih terdiam membisu.
“Iyum...anak ibu,
coba bicara nak, mengapa seperti ini ?” tanya ibu lirih.
Aku hanya
terdiam...
“Ayolah nak,
jelaskan pada ibu, mana anak ibu dulu yang selalu tersenyum dan memeluk ibu ?,
ibu mohon jangan seperti ini ! apa yang harus ibu lakukan untukmu sayang ?”air
mata ibu menetes.
Lagi-lagi aku
hanya terdiam, tak memberikan jawaban sedikitpun pada ibu, namun lubuk hati ini
sedikit demi sedikit mendorongku untuk bangkit, namun jiwa ini selalu menolak.
Kasih sayang ibu padaku tak terhitung harganya, ibu rela menahan sakit, memuja
kehidupan, menghempas amarah dan memelihara ketabahan hanya untukku, putri yang
selalu dia nanti senyumnya, semangatnya, cerianya dan manjanya. Dulu segumpal
daging yang hidup dalam rahimnya, yang dia hidupi dengan laksa-laksa kasih nan
suci, yang dia berikan aliran darahnya masuk dalam tubuh ini, yang dia berikan
setangguk ketenangan didalam alam ini, yang dia usap dengan lembut penopang
tempatku hidup, yang dia berikan taburan keikhlasan dan pengorbanan untuk buah
hatinya agar dapat menatap indahnya dunia yang di naungi solfegio untuk mendengar
lantunan percusi yang bertalu indah, tapi kini aku tak bisa membalas semua
perjuangan dan pengorbanan ibu, aku bagaikan sampah yang harus di buang jauh
dari hidupnya, aku adalah sosok gadis yang tak berguna dan pantas dibuang ke
tempat antah-berantah yang tak berpenduduk, aku selalu memberikan
goresan-goresan kepahitan untuknya, yang hanya bisa meratapi takdir dan tak
mencoba bangkit, aku hanyalah sepenggal kisah nista yang tak pantas hadir dalam
kerlingan roda hidupnya, sungguh aku hanyalah beban...beban...dan beban
untuknya...Tanganku meremas dengan air mata menetes di pipi ini, penuh
penyesalan dengan nafas terengah-engah, sekujur tubuhku bergetar, mata penuh
kekecewaan, dan sesuatu yang ada di sekeliling aku lempar dan jatuhkan, seperti
itulah keadaan ketika jiwaku teringat hal-hal pahit.