Rabu, 12 September 2012

Tiga Lubuh Hati Untuk Ibu


Tiga Lubuk Hati Untuk Ibu
Yogyakarta...Yogyakarta...Yogyakarta... bibirku terucap, wajah tengadah ke arah langit lepas yang merona, ku rentangkan kedua tanganku, sembari angin menghempas tubuh dan pejaman mataku, tapi sayang...angin tak sanggup membawa tubuhku melayang di udara, namun hadirku di tengah padang rumput, membuat lintasan fatamorgana kota impianku semakin indah ku hayati.
Banyak orang yang fanatik dan bertanya-tanya “Mengapa diriku sangat tergila-gila dengan kota Yogyakarta, pertanyaan itu tentu sangat gampang aku jawab...menurutku Yogakarta itu adalah kota pendidikan yang paling kental dengan budaya, memang semua kota memiliki budaya, tapi Yogyakarta lah yang paling kental, aku dengar sekarang di sana sudah diwajibkan memakai batik, uh..hal itu membuatku semakin terpesona, ramah tamah penduduknya seakan-akan menggodaku untuk segera berdiri di tengah tegapnya Borobudur dan di sela-sela keramaian Mallioboro, dan yang paling menggiurkan adalah PTN yang ku dambakan sejak aku duduk dibangku kelas V SD, Universitas Gadjah Mada...Ya, aku Arumi Chandrika, Iyum...Ibu selalu memanggilku seperti itu, maklum ibuku seorang psikiater, mungkin begitulah caranya menyebut namaku penuh kasih sayang, sekarang aku duduk di bangku kelas III SMAN 1 Bogor, aku sudah berhasil di hipnotis oleh PTN tersebut, hingga di benakku tak ada lagi PTN, PTS maupun PTK lainnya selain UGM, mungkin terlalu muluk-muluk anganku yang satu ini, karena UGM merupakan universitas favorit di Indonesia tak lupa jurusan yang juga tak kalah muluk-muluknya ku dambakan, Pendidikan Dokter, sampaikan bibir ini bergetar menyebutnya, tapi apa salahnya mencoba, toh asalkan kita berusaha, Tuhan pasti akan mendengar do’aku.
Begitu indah angan itu ku lantunkan dengan harapan kemenangan kelak, dengan bangga angan itu ku raih dengan cucuran keringat, sungguh nikmat hasil gemerlap di pandang kedua bola mataku sendiri, hawa sejuk menyelimutiku jika semua orang yang ku kasihi meneteskan air mata terharu. Semua rasa itu akan ku nikmati setelah denting waktu mengizinkanku, setelah takdir kuasa menyapaku, hanya sujud kerendahan hati, kalam-kalam suci dan usaha halal ku sertakan dalam diri.
XXX
Namun...ketika jarum jam berhenti disela angka 8 dan 9 malam, suasana yang dingin , tak ada kejora maupun bulan yang menerangi, hanya lampu neon disudut sana yang memancarkan cahayanya walau sedikit, mata ini sayu melihat semua disekitarku gelap, jemariku bergetar mengarah pada cahaya neon itu, namun jemariku kembali menapak...lalu gelap...
Tuhan...            
Jika kilau tunas cempaka mengemban harapku
Mengapa kilau itu bukan tergadai lagi, tapi terjual ?
Jika benderangnya terlukis bersama ikrarku
Mengapa ikrarku menjadi sunyi senyap ?
Aku tak tahu Tuhan...Kau berikan hempasan kala ini padaku...
Hingga kiprah suciku terbang bersama angin malam
Bintang dalam hatiku tak lagi mengarak, terhenyak lamunan
Kini cawan emas dalam jiwaku terkubur
Pilar-pilar mutiara dalam darah membanjiri anganku
Yang ku tahu saat ini jiwaku tak lagi seperti dulu...
Hanya lubuk-lubuh hatiku yang dapat berbicara...
XXX
Aku terbangun dalam gelapku...namun bibir ini tak sanggup terbuka, mata ini hanya memandang satu arah, jiwa ini tertekan seakan tertimpa batu besar...meskipun jiwaku tak lagi seperti dulu...namun sekali lagi...lubuk-lubuk hatiku dapat berbicara...
Lubuk hati pertama berbicara namun jiwaku tetap terpaku...
Aku tak tahu, seperti apa dunia memandangku sekarang apakah seperti siluet yang hanya datang sekejap lalu hilang ?, apakah seperti karang laut yang tak menorah sedikitpun diterpa ombak besar ?, atau bahkan seperti gelas kaca yang terjatuh lalu pecah ?...pertanyaan-pertanyaan itu hanya terlontar dalam lubuk hati pertamaku, bukan dari bibirku..seperti itulah aku sekarang, ingin aku berlari dan menjerit di puncak yang sangat tinggi dan sepi hingga aku terbebas ingin seberapa keras aku menjerit dan seberapa banyak air mataku menetes dari mata ini yang tak bisa lagi melihat khayalan indah disana yang masih terselubung sutra bunga dan harus aku dapati. Aku takut ibu tak sanggup lagi melihat keadaanku sekarang ini, putri yang dia banggakan kini menjadi tak berdaya, terkapar di lantai dengan air mata tak berhenti menetes dan tak sedikitpun terucap dalam bibir ini alasan mengapa aku seperti ini, hingga ibu diam dalam kebingungan dan kepedihan, namun lubuk hati ini ingin sekali merangkul ibu, berbicara pada ibu mengapa aku begini, bersujud pada ibu sebagai tanda maafku...tapi...fisiku tak bisa melakukannya karena jiwaku masih terdiam membisu.
“Iyum...anak ibu, coba bicara nak, mengapa seperti ini ?” tanya ibu lirih.
Aku hanya terdiam...
“Ayolah nak, jelaskan pada ibu, mana anak ibu dulu yang selalu tersenyum dan memeluk ibu ?, ibu mohon jangan seperti ini ! apa yang harus ibu lakukan untukmu sayang ?”air mata ibu menetes.
Lagi-lagi aku hanya terdiam, tak memberikan jawaban sedikitpun pada ibu, namun lubuk hati ini sedikit demi sedikit mendorongku untuk bangkit, namun jiwa ini selalu menolak. Kasih sayang ibu padaku tak terhitung harganya, ibu rela menahan sakit, memuja kehidupan, menghempas amarah dan memelihara ketabahan hanya untukku, putri yang selalu dia nanti senyumnya, semangatnya, cerianya dan manjanya. Dulu segumpal daging yang hidup dalam rahimnya, yang dia hidupi dengan laksa-laksa kasih nan suci, yang dia berikan aliran darahnya masuk dalam tubuh ini, yang dia berikan setangguk ketenangan didalam alam ini, yang dia usap dengan lembut penopang tempatku hidup, yang dia berikan taburan keikhlasan dan pengorbanan untuk buah hatinya agar dapat menatap indahnya dunia yang di naungi solfegio untuk mendengar lantunan percusi yang bertalu indah, tapi kini aku tak bisa membalas semua perjuangan dan pengorbanan ibu, aku bagaikan sampah yang harus di buang jauh dari hidupnya, aku adalah sosok gadis yang tak berguna dan pantas dibuang ke tempat antah-berantah yang tak berpenduduk, aku selalu memberikan goresan-goresan kepahitan untuknya, yang hanya bisa meratapi takdir dan tak mencoba bangkit, aku hanyalah sepenggal kisah nista yang tak pantas hadir dalam kerlingan roda hidupnya, sungguh aku hanyalah beban...beban...dan beban untuknya...Tanganku meremas dengan air mata menetes di pipi ini, penuh penyesalan dengan nafas terengah-engah, sekujur tubuhku bergetar, mata penuh kekecewaan, dan sesuatu yang ada di sekeliling aku lempar dan jatuhkan, seperti itulah keadaan ketika jiwaku teringat hal-hal pahit.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar